Searching...
Minggu, 01 Oktober 2017

Sejarah Batik Kudus


Batik Kudus
Batik Kudus mulai berkembang pada abad 16 yang merupakan abad permulaan masuknya budaya Islam di tanah Jawa. Ini ditandai dengan munculnya Batik dengan ciri khusus tata warna atau yang disebut Babaran, Langgar Dalem dan Kerjasan. Dua desa ini yang dahulu merupakan daerah pembatikan yang paling tertua dengan warna Soga Kudusan (warna coklat khusus), warna biru dan hitam. Dua daerah ini berada di area Menara Kudus.

Sejalan dengan perkembangan batik di Kudus, munculah kampung-kampung pembatikan dengan ciri khusus, diantaranya adalah Kampung Janggalan dengan corak yang masih mengikuti gaya lama tetapi sudah muncul Batik Cap, sedangkan Kampung Kedung Paso mempunyai ciri khusus yang disebut Babaran Kedung Paso dengan ciri warna keunguan, hijau, biru dan coklat untuk warna ini sering disebut busono kelir. Apabila tiga warna, disebut Tri Busono.

Asal muasal pewarnaan Batik Kudus dahulu menggunakan pewarnaan alam diantaranya adalah, Tom atau Indigo Vera digunakan untuk mewarnai warna biru, Kayu Tingi untuk mewarnai kuning sedangkan Soga untuk warna coklat. Sejalan perkembangan Batik Kudus, di awal 19 datanglah istri Residen Pati yang bernama nyonya Van Zuichlend. Beliau memperkenalkan warna-warna kimia. Warna yang paling terkenal adalah Babaran Chungkina, tiga tata warna, coklat hijau dan biru dan dikenal dengan nama Batik Dema'an. Pada perkembangan selanjutnya muncu tiga warna, yakni Kuning Coklat dan Orange. Apabila tiga warna tersebut, coklat hijau dan biru ditambah merah maka disebut Laseman.

Batik Kudus mempunyai makna positif diantaranya Gabah Mawur yang melambangkan kesejahteraan suatu bangsa, Moto Iwak adalah simbol yang mempunyai makna kejelian dalam melihat atau berpikir, Mretu Sewu artinya persatuan bangsa, Kembang Randu kemurahan sandang, dan motif Merak Katleya artinya pengaruh dari budaya cina yang melambangkan keanggunan. Makna batik aliran klasik Kudus tak hanya sekedar nilai sejarah. Tetapi lebih kepada filosofi hidup yang mengajarkan manusia tentang nilai-nilai kebaikan untuk dapat dilakukan sehari-hari baik dimulai dari diri sendiri maupun untuk orang lain.

Sangat disayangkan bahwa pada tahun 1980an produksi batik Kudus mengalami penurunan. Industri batik rakyat semakin tersingkir oleh membanjirnya batik cap dan printing yang harganya jauh lebih murah dari batik kudus. Jumlah pembuat batik Kudus juga semakin sedikit karena generasi yang lebih muda lebih tertarik untuk bekerja sebagai buruh industri dan pabrik karena pekerjaannya tidak berat dan upah yang lebih tinggi.

Memasuki tahun 2011 pengrajin dan produksi Batik Kudus mulai menggeliat lagi. Dari hasil pembinaan pengrajin batik kudus yang dilakukan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, Batik Kudus pun memasuki era baru dengan melakukan pengembangan motif, akan tetapi tetap menjaga pakem kekhasan dari Batik Kudus.

Referensi gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiG4RUIrQJ1JhuvkpUFoNeTtjruGkpKTQ0txaIyvXteOqSj8_KRMd-XOIMKIvukJDw4Bc22UcIBHxpDvHf-NHAWDeohN-IHZgDPCi-LQlJ9a427la8bFxaGz5G5BI2pIh80zlHXXMzfV3yV/s1600/batik+kudus.jpg
Refrensi artikel : https://kumparan.com/hanifah-mutiara-sylva/perjalanan-batik-kudus-kecantikannya-mempesona-berbagai-kalangan




0 komentar:

 
Back to top!